Quantcast
Channel: Keluarga Cahaya Emas
Viewing all articles
Browse latest Browse all 71

Kecemburuan Cahaya pada Langit

$
0
0
Bismillaahirrahmaanirrahiim

"Maaf, asal kamu tahu, kamu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Langit. Kalau kamu ingin dipandang baik, setidaknya, berusahalah menjadi seperti Langit."

Kalimat itu lurus, nyelekit, menulang hingga ke sanubari pendengarnya, si putri Cahaya. Dia bergeming tanpa suara. Tenang, setenang bulir air yang kini menggenang di pelupuk matanya. Dia berharap akan ada hujan yang bisa menyamarkan kepedihan di hatinya.

Ini bukan pertama kalinya dia mendapat sindiran seketus itu. Bukan pula pertama kalinya kesan buruk menempel di cahayanya. Seharusnya dia tak patut bersedih. Seharusnya. Tapi kenapa air matanya tidak bisa berhenti mengalir?

Tak disangka, fenomena ini bisa terjadi. Kecemburuan cahaya pada langit. 

Cahaya sudah mengenal Langit selama satu dekade kurang dua tahun. Bagi Cahaya, Langit memang sosok yang memesona. Benar, dia yang selalu tampil tegar nan kuat. Langit. Satu-satunya makhluk yang berdiri tanpa tiang, kan?

Oleh sebab itu, Cahaya suka sekali memandang Langit. Sekedar meyakinkan diri bahwa kakinya masih memijak bumi, masih tidak melampaui batas. Betapa nyatanya karunia Allah, bahkan dengan keberadaannya saja, Langit mampu memberikan secercah harapan dalam masa-masa penjajakan dunia. Cahaya sungguh bersyukur, ada langit yang bersinar.

Kecemburuan Cahaya pada Langit
Sekedar meyakinkan diri bahwa kakinya masih memijak bumi, *)referensi gambar

Awalnya, Cahaya pikir Langit yang merona biru itu tak akan pernah tampak kelabu. Apalagi Langit kerap dibayangi aura misterius dari beribu-ribu gumpalan awan putih. Hey, ternyata langit bisa saja menghitam. Ketika para awan saling bertarung dalam dimensi beku, lalu menuai proses presipitasi, di sanalah sendu itu muncul. Hujan. Takjub, ternyata Langit bisa menangis juga ya?

Setelah mengetahui fakta tersebut, Cahaya semakin getol bermain dengan Langit. Dia merasa, langit sudah menjadi bagian dari cerita-cerita kesehariannya. Ada canda, tak jarang duka dan pasti diselingi suka. Entah sejak kapan, Cahaya menjadi begitu dekat pada Langit. Entah sejak kapan, keduanya saling berbagi hati.

Lalu kepedihan apa yang ingin disamarkan oleh cahayanya?

Ini nestapa. Bila seseorang dibandingkan dengan orang asing, tentunya tidak akan ada hati yang meringis. Lain halnya bila membandingkan dua kawan yang akrab lagi sejati. Lebih-lebih bila titik poin perbandingannya menjatuhkan yang satu di atas yang lain. Pedih. Rasa-rasanya dunia menjadi gelap. Mungkin, itulah yang dirasakan oleh Cahaya.

"Maaf kalau secara tidak langsung aku telah menyakiti hatimu. Mohon diampunkan kepada Allah. Orang yang bisa berpikiran begitu, membandingkan seperti itu, justru karena dia tidak tahu apa-apa tentang kita berdua."

Itu kalimat yang dilontarkan oleh Langit ketika Cahaya mengadu padanya.

Ah, damai. Langit memang paling bisa menetralisir rasa. Alhamdulillah, meski rona malu masih membekas di wajah Cahaya, dia kini tampak bahagia. Bukan karena tuduhan buruk itu akhirnya tidak merusak otaknya, atau karena dia merasa menang atas pendapat tidak sopan itu. Bukan. Dia bahagia karena di titik yang hampir frustasi itu, dia menemukan Langit yang bisa menjadi tumpuan berdirinya. Sungguh beruntung.

Seiring berjalannya waktu, tiba-tiba ada sekat tak kasatmata yang membentang di antara Cahaya dan Langit. Ada apa gerangan? Selidik punya selidik, ternyata Cahaya mulai jarang mengunjungi Langit. Dia mulai sibuk mendekam di istananya. Entah apa yang dia lakukan, tidak seorang pun tahu, bahkan Langit pun tidak. Mungkinkah cahayanya mulai meredup?

Ternyata Cahaya mempunyai rahasia. Ya, rahasia yang tidak dikatakannya pada Langit tetapi diumumkannya pada rumput dan ilalang. Ironis, Langit harus mengetahui kabar Cahaya dari bisik-bisik di padang rumput. Seharusnya Cahaya tersindir malu karenanya. Alih-alih sadar diri, Cahaya malah tampak menyepelekan hal tersebut.

Cahaya tidak paham, rupanya ada hati yang merasa terasingkan. Rupanya ada hati yang merasa sepi. Eksotis. Karena sedikit pun, Cahaya tidak pernah berani berpikir sombong, bahwa Langit selalu menanti cerita-cerita tidak penting lagi absurd yang dikisahkannya hampir di setiap penghujung senja. Wow, ternyata dia cukup dirindukan juga ya?

Mendadak hatinya menghangat. 

Bodoh. Bodoh sekali. Karena berpikiran Langit tidak bisa menerimanya, Cahaya serta-merta meminta rumput dan ilalang untuk mendengarkan kisahnya. Bertindak naif, tanpa tahu, walau seredup apapun cahayanya, ternyata Langit masih tetap menantinya. Ya, menanti Cahaya yang datang dan berekspresi lepas di bawah hamparan Langit yang membiru.



Makassar, Sesi I : Call for Ideas [Kamu Meminta, Aku Menulis]
13 September 2013 Miladiyah / 08 Dzul Qa'dah 1434 Hijriyah. 
Untuk dan Hanya Untuk Langit dengan segala kebaikan hatinya.
Ukhtayya, ana uhibbukifillah. ほんとう に ごめんなさい。Thank you!


Viewing all articles
Browse latest Browse all 71